Jumat, 19 November 2010
Generasi Kita untuk Indonesia
Kita, Generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia
Maxwell 2001:9
Berbagai kritik dan tamparan yang terlempar untuk pemerintah sekarang tidak lagi mampu menembus hati mereka, jangankan hati, telinga saja tidak sampai. Berbagai kasus entah sengaja atau ditampilkan agar terlihat seperti sebuah misteri tanpa ada penyelesaian yang menyeluruh dan profesional sudah menjadi pandangan menjijikan bagi kita sebagai rakyat.
Pandangan apatis pun selalu datang dari berbagai kalangan yang tidak ingin ikut campur dan ikut-ikutan pusing. Bukan salah mereka menjadi apatis karena masih ada perut yang harus di penuhi dan anak-anak yang bersekolah mengejar cita-citanya. Itu pun sudah sangat memusingkan dalam pemenuhannya.
Kita, benar kita, sebagai cendikia dan pemuda patutnya menjadi benteng dan senjata terakhir dari keadaan ini. Meluangkan waktu agar dapat memberikan kontribusi nyata dalam perubahan, baik perubahan sekecil apapun. Karena perubahan kecil itu akan membesar secara perlahan dan menjadi bom waktu yang akhirnya meledak hingga membuat perubahan untuk Indonesia sepenuhnya. Jangan berlindung dibalik cita-cita yang menjadi alasan untuk tidak berpikir idealis, mencintai alam, tanah air, rakyat dan bangsanya.
Mayoritas mahasiswa kini lebih sibuk dengan pembanggan masing-masing almamater, sombong dengan ilmu dan pencapaian yang baru sedikit didapat, membedakan sikap dengan golongan lain atas nama agama, berkutat dangan cinta, pesta dan hal-hal yang berbau hedonis. Kita sebagai mahasiswa seharusnya mengintegrasikan diri dalam pemikiran menjadi sebuah kesatuan yang dinamakan pemuda Indonesia. Hal ini bukan berarti tidak mencintai masing-masing almamater, tapi apakah bisa dengan sikap sombong tersebut membangun dan bekerja sama membuat perubahan bagi Indonesia?
Kita, Generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia. Sudah saatnya kita berbuat dalam bentuk apapun, baik tulisan maupun perubahan sikap pola hidup yang selama ini tidak mencerminkan kita sebagai kaum intelegensia. Kita ini satu, bernaung dalam satu bangsa yang sedang bingung berjalan kemana. Jangan lagi diam, karena tingkatan seorang sarjana itu berpikir, belajar dan mencari jawaban atas permasalahan yang ada. Kemudian mengarahkan raksasa besar bernama Indonesia ini ke arah yang lebih baik. Jika hanya diam, itu akan membentuk suatu sikap yang menunjukan ketidakpedulian terhadap tanggung jawab sosial dan kemanusiaan. Walau demikian, tidak pula melupakan tanggung jawab kita terhadap orang tua dan mengabaikan mimpi yang selama ini kita berusaha capai.
-Jakarta, 19 November 2010
Rabu, 17 November 2010
Percayakan
Perlahan hampa mendekati mesra
Malam ini kudengar kau berbisik
Menyanggupi menjagaku walau bersemu
Kita t'lah tertulis untuk meresapi air dingin ini
Semua itu demi terang hangat nanti
Suatu ketika dimana kita tegak berdiri
Di tengah taman edelweiss berada
Percayakan
Kita t'lah menanamkan semua
Bersandarlah
Kita kan mendapatkan semua
Dengarkan
Perlahan yang kadang kau coba agar bernada
Kudengar sambil terpejam
Mengapa tetap detakmu yang ku dengar?
Ku panggil kau dari seberang
Kenapa kau tetap asik dengan dawaimu?
Aku hanya bisa duduk melihat kemudian terpejam
Mendengar sekali lagi alunan lentiknya jarimu
Letih
Lalu marah
Dan berbalik ingin bersandar
Emosi yang hadir dalam isyaratmu
Apa aku benar?
Ataukah sebuah kenistaan hati ini saja?
Ku telah selesai mendengar lagumu
Sekarang dengarlah aku.
Catatan Monolog
Bersikap sama berbeda untuknya
membuatku buruk dalam kabaret ini
ya..begitu buruk
Berjalan terhanyut alur sendiri meski ramai di sekeliling
Dan mulailah melodramatismu
Dengan bermonolog di depan cermin yang retak
Seakan peduli lalu meludahi aku
Sampai saat nanti lebih baik bernarasi, walau setitikpun tak kau resapi
Hingga berulang kembali melodramatismu
Berteriak seolah tak menerima
Membicarakan perbedaan aku yang hina dan kau yang memang terlampau suci